HAKIKAT KEBENARAN DAN KASIH



HAKIKAT KASIH DAN KEBENARAN
Kebenaran tanpa kasih adalah kejam, tetapi kasih tanpa kebenaran adalah kemunafikan” (Ef.4:15; 1 Kor 13:1-3)

Rangkaian kalimat di atas menuntut saya berpikir lebih kritis dan praktis,  karena kalimat tersebut jika dipisahkan, maka maknanya akan berbeda .  Misalnya saya mengutip hanya kalimat pertama; “Kebenaran tanpa kasih adalah kejam, berarti harus ada kasih dalam kebenaran baru dinyatakan tidak kejam.  Sebaliknya, “Kasih tanpa kebenaran adalah kemunafikan, berarti  kebenaran harus ada dalam kasih supaya tidak munafik.   Penafsiran ini sangat simple, tetapi tidak sepenuhnya dipahami dengan baik.  Akan tetapi banyakkah orang yang memikirkan hal demikian, atau justru lebih banyak mengabaikannya? Di sini saya akan mencoba menggali intisari dan makna yang dimaksudkan oleh Paulus. 

A.   Definsi Kebenaran dan Kasih

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebenaran berasal dari kata ‘benar’, artinya sesuai sebagaimana adanya, betul dan tidak salah, akurat, cocok, mustakim, asli, tepat, pas, dan lain-lain.  Kebenaran adalah sesuatu yang sungguh-sungguh ada, bukti, fakta, keaslian, validitas, realitas, dan lain-lain.  Kasih adalah perasaan sayang, cinta, kurnia, iba, dan lain-lain.  Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebenaran dan kasih adalah sesuatu yang menarik perhatian dan diinginkan oleh semua orang, karena memiliki nilai positif. Secara umum kira-kira seperti itulah pengertiannya.
Pengertian ini tidak banyak menimbulkan pertanyaan.  Akan tetapi, berbeda halnya dengan Alkitab.  Alkitab memiliki cara pandang yang berbeda tentang makna kedua kata ini.   Dan makna yang diberikan Alkitab banyak disoroti oleh para teolog sehingga menjadi sebuah bahan observasi, meskipun pada dasarnya Alkitab bukanlah bahan untuk melakukan sebuah penelitian ilmiah.  Namun  sampai sekarang persoalan ini masih menggelitik banyak kalangan, khususnya kalangan Kristen yang berbeda aliran Gereja.  Walaupun begitu, tetaplah makna sebuah kata sangat penting bagi kehidupan beragama. 
Alasan inilah yang membuat saya ikut berpartisipasi dan berbagi tentang makna tulisan Paulus yang kini sudah dimaknai banyak orang dengan berbagai perspektif.   Banyak kata kebenaran dan kasih dalam Alkitab, tetapi saya tidak akan mengulas semuanya, karena fokus saya tertuju kepada tulisan Paulus.  Mungkin saudara-saudara memiliki cara pandang yang berbeda mengenai hal ini, akan tetapi akan lebih baik jika kita diperkaya dengan pengetahuan dan kebenaran Alkitab,  karena Firman Tuhan yang  benar adalah – yang  dapat menerangi pikiran manusia, jika tidak demikian maka ia tidak lebih dari sebuah komik.

B.            Hakikat Kebenaran

Kebenaran adalah sesuatu yang bersifat autentik.  Untuk itu tidak bisa digantikan dengan hal  apapun.  Manusia pun – telah  hilang kebenaran setelah jatuh ke dalam dosa.  Meskipun berbagai macam cara dilakukan untuk mencari kebenaran itu, tetap saja manusia tidak mampu menemukannya, kecuali Allah sendiri Sang Kebenaran itu menyatakannya.  Kita menyadari kebenaran karena ada ketidakbenaran, itulah dosa.  Seandainya saja dosa tidak masuk ke dalam pikiran manusia, maka tidak perlu ada kebenaran dan tidak perlu ada pembenaran,  karena pada dasarnya dosalah yang membuat keterpisahan antara Allah yang benar dan Iblis yang jahat.  Maka dari itu segala yang disebut kebenaran hanyalah Kebenaran Allah, tidak ada kebenaran Iblis. 

Paulus, dalam suratnya menulis sebanyak 89 kali kata kebenaran dan 4 kali menyebut pembenaran.  Hampir semua intinya tentang pembenaran dari hukuman dosa kepada keselamatan dan pengampunan oleh kasih karunia. Menurut Pengakuan Iman Babtis, pembenaran adalah hadiah gratis dari Allah kepada orang yang dikasihinya dengan cuma-cuma.  Allah membuat itu bukan semata-mata karena melihat usaha manusia masuk dalam kebenaran, melainkan anugerah Allah yang besar untuk mengampuni manusia yang lalai dalam kebenaran.  Artinya dalam hal kebenaran manusia tidak punya andil apapun untuk membanggakan diri.   Khususnya dalam kitab Roma, Paulus gencar menekankan kebenaran itu (Rm. 1:7,18,25; 3:5,7,21,22; 4:3,5,9,11,13,16,22;  5:17,18,21;  6:18,20; 8:10; 9:30; 10:3-6; 14:17; 15:18).  Dalam hal pengampunan dan keselamatan pun  manusia pada dasarnya tidak layak untuk memperoleh itu, tetapi oleh kasih karunia Allah menganugerahi manusia melalui iman kepada Yesus (Rm 5:16).  Sekali lagi bukan karena manusia, melainkan oleh kasih karunia Allah.

Beberapa alasan penting mengapa Allah mengizinkan manusia untuk memperoleh pengampunan dan pembenaran:
1.             Allah mengasihi manusia seperti diri-Nya sendiri.  Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Imago Dei).  Artinya, Allah tentu sangat mengasihi manusia yang diciptakan-Nya – sungguh  amat baik itu.
2.             Melalui pengorbanan Yesus di kayu salib manusia dibebaskan dan terlepas dari kutuk (Ibr. 10:14).  Sebab hanya orang benarlah (Yesus) yang dapat membenarkan manusia yang berdosa (Roma. 3:26; 4:25).
3.             Pada mulanya Allah telah merencanakan pengampunan dan pembenaran terhadap manusia yang tidak benar di mata Allah, sehingga oleh kasih karunia-Nya telah memilih mereka untuk memperoleh kebenaran Allah (Gal. 3:8; Kol. 1:21-22; Titus 3:4-7).
4.             Sifat pengampunan itu terus-menerus, maka kebenaran yang diperoleh manusia hanya sekali.  Artinya dibenarkan sekali seumur hidup.
5.             Tubuh manusia bisa diampuni secara jasmani sedangkan roh tidak akan memperoleh pengampunan setelah jatuh ke dalam dosa.  Oleh karena manusia memiliki tubuh dan roh maka manusia memperoleh pengampunan dosa melalui pengorbanan tubuh dan darah Yesus, bukan roh dan darah Yesus.
Untuk itu, tidak ada penghukuman karena ketidakbenaran itu, sebab hukuman manusia dari ketidakbenaran itu telah dialihkan kepada Yesus,  sehingga manusia berdiri di balik salib Yesus  dan olehnya telah memperoleh kebenaran.  Alasan ini juga dinyatakan oleh Arthur W. Pink dalam bukunya, “Comfort for Christian – Penghiburan bagi Orang Percaya”.  Menurutnya, Tidak ada penghukuman berarti tidak ada apa pun yang akan atau dapat  memungkinkan penghukuman  itu terjadi.  Tidak adanya penghukuman dikarenakan  tidak adanya tuduhan (Rm. 8:33), dan tidak adanya tuduhan dikarenakan tidak adanya gugatan atau dosa (Rm. 4:8).[1]  Inti kata “tidak ada penghukuman” adalah penegasan Paulus tentang hakikat kebenaran itu sendiri, bahwasannya orang-orang percaya di dalam Kristus telah memperoleh pembenaran dan dibenarkan oleh sang Kebenaran itu sendiri,  karena pada hakikatnya kebenaran hanya dapat diperoleh dari sang Kebenaran, itulah Kristus.  Tidak ada yang benar seorang pun tidak (Rm. 3:10), selain dari Allah sendiri yaitu Yesus Kristus.
Teranglah bahwa hakikat kebenaran berpusat pada Kristus, artinya hanya Dialah yang menjadi panutan kebenaran itu.  Manusia dapat memperoleh pengampunan dari rasa bersalah dengan  percaya sepenuhnya kepada Kristus Sang Kebenaran itu.  J.C. Ryle menyatakan,  “kebenaran (righteous/righteousnes), dalam bahasa Ibrani diterjemahkan ‘benar’ pada awalnya berarti ‘lurus’.  Kata Yunani yang sama dengan itu mengacu  . . . hukum.   Kristus ialah satu-satunya pribadi yang secara sempurna telah menaati hukum Allah dan karena Dia adalah Allah maka kebenaran-Nya tidak terbatas dan dapat diperuntukkan kepada semua orang.”[2]  Arti kata ‘semua’ mengacu kepada kuantifikasi keselamatan yang tidak terbatas bagi umat manusia; baik yang percaya maupun yang belum percaya. 
Kebenaran yang sering diungkit dalam surat-surat Paulus ini selalu identik dengan hukum, namun bukan berarti kebenaran itu tidak menghiraukan sifat Allah yang hidup dalam keadilan dan kasih.  Tentu semua keputusan Allah telah sempurna sebelumnya di dalam kekekalan.  Jadi sifat hakiki kebenaran itu adalah mutlak dari Allah, oleh Allah dan milik Allah sendiri yang terwujud di dalam diri Yesus Kristus.  Tentu semua sifat ilahi selalu berkaitan satu dengan yang lain, tidak bisa berdiri sendiri.   Dalam kebenaran Allah tentu ada keadilan, dalam keadilan, tentu ada kasih, dalam kasih tentu ada pengampunan, dalam pengampunan tentu ada pembenaran, dan pembenaran hanya dimiliki orang yang mengakui Kristus sebagai satu-satunya kebenaran.   Oleh kebenaran itu maka ada pengampunan, jadi berbahagialah kita yang hidup dalam  Kristus dan Kristus dalam kita,  karena olehnya kita telah memperoleh kebenaran itu.

C.             Hakikat Kasih

Kasih adalah kegenapan  Hukum Taurat (Rm. 13:10), artinya tanpa kasih, Hukum Taurat belum lengkap/ganjil/belum genap.  Tujuan Hukum Taurat adalah kebenaran, dan Kristus adalah kebenaran itu.   Artinya jika Kristus  yang adalah kasih itu  tidak  ada dalam Hukum Taurat maka ganjillah Hukum  Taurat.  Williamson menyatakan, “ Hukum Taurat mengajar manusia bahwa mereka terhilang sehingga mereka mencari Kristus.  “Sebab Kristus adalah kegenapan Hukum Taurat , sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang percaya (Roma 10:4)”.”[3]

Kasih dari Kristus menunjukkan bahwa nilai-nilai  Hukum Taurat benar-benar  tergenapi.  Hal itu terwujud melalui sikap dan konsistensi pribadi-Nya dalam Filipi 2:6-8, yang menghubungkan antara kasih dan keadilan.   Pernyataan ini juga dijelaskan oleh G.J. Baan: “Betapa dalamnya Ia telah merendahkan diri-Nya sendiri: Ia mengambil kutuk Hukum Taurat  pada diri-Nya, menanggung dosa-dosa kita, dan menjalani penderitaan-penderitaan yang diakibatkan oleh dosa.”[4].  Pernyataan  ini tidaklah berlebihan untuk dipahami dan dimaknai, sebab dalam ayat tersebut menjelaskan dengan baik bahwa kerendahatian Kristus menjadi kunci untuk memasuki setiap tingkat kesulitan hidup manusia yang diawali dengan pengosongan diri-Nya. 

Pada hakikatnya kasih adalah milik Allah dan wujudnya sudah terjadi di dalam Yesus Kristus, karena hanya Dialah kasih yang kekal dan penggenap Hukum Taurat yang dimaksudkan dalam Roma 13:10.  Pada pasal selanjutnya  Paulus menjelaskan bahwa kasih yang menggenapi Hukum Taurat itu telah dinyatakan di dalam diri Yesus (Rm. 13:10).  Artinya, Yesus adalah satu-satunya manusia yang layak jadi panutan hidup dalam kasih.
Jelaslah bahwa semua hal di atas dilakukan oleh Kristus  karena kasih-Nya yang besar kepada manusia.  Bukan karena kekuatan dan kemampuan manusia (Ef. 2:8).  Tidak ada dasar pengajaran yang lain yang bisa menjelaskan tentang hakikat kasih dan kebenaran yang jelas  dan berpusat pada Kristus selain dari Firman Allah sendiri.  Alkitablah sumber informasi yang akurat untuk mengetahui hakikat  kebenaran dan kasih. (2 Timotius 3:16).

D.            Kesimpulan

Pernyataan  yang pertama tentang Kebenaran tanpa kasih adalah kejam, tetapi kasih tanpa kebenaran adalah kemunafikan”,  merupakan kesimpulan dari hakikat kasih dan kebenaran yang sesungguhnya.  Roma 12:2, Paulus mengajarkan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna".    Hal ini menunjukkan bahwa antara kejujuran atau kebenaran dengan kasih Allah selalu selaras dan tidak dapat di pisahkan.  Untuk menjaga kasih dan kebenaran itu tetap utuh pada pengertiannya, Paulus mengajarkan supaya tidak menjadi serupa dengan dunia melainkan membarui budi supaya bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Kasih tidak akan hidup tanpa tindakkan nyata.  Malahan semua akan sia-sia (1 Kor 13:1-3).  Demikian juga halnya kebenaran (Ef.4:15).  Ketika orang merasa benar tetapi tidak mengasihi orang lain berarti orang itu tergolong kejam, demikian sebaliknya ketika orang merasa memiliki kasih dan mengasihi orang yang dia kasihi namun tidak dilakukan dengan benar atau karena motivasi tertentu berarti orang itu lebih tepat disebut  orang munafik bukan pengasih.
Kasih dan kebenaran yang diajarkan dalam Alkitab selalu merujuk kepada satu pribadi yang Agung itulah Yesus Kristus.  Bahkan dengan jelas dinyatakan dalam Ef. 4:15 bahwa Yesus Kristus adalah Kepala.   Kebenaran yang dipegang teguh itu harus diarahkan kepada Kristus, artinya Kristuslah panutan kebenaran itu. 
Roma 12:9-21 menjelaskan tentang kasih,  Ayat 9: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik”.  Dari ayat ini jelaslah  bahwa kasih yang pura-pura itu adalah kasih yang dilakukan tanpa kebenaran, karena kebenaran tidak mungkin pura-pura.  Jika ada kasih yang pura-pura maka itu adalah  kemunafikan.   Kebenaran tidak dapat bersatu dengan keangkuhan, kejahatan dan  kekejaman yang identik dosa, karena kebenaran adalah Kristus sendiri yang tidak mungkin kompromi dengan dosa.  Demikian juga halnya dengan kasih tidak dapat bersatu dengan keangkuhan dan kemunafikan karena kasih itu adalah Allah sendiri yang diwujudkan melalui diri dan  karya Yesus Kristus (Roma 5:8).
Jadilah bijak, peliharalah kasih dan kebenaran itu supaya Kristus yang adalah kasih dan kebenaran itu tetap tinggal dalam hati kita dan memimpin hidup kita untuk senantiasa mewujudkannya kepada Tuhan dan kepada sesama kita.  Tuhan Yesus memberkati.  Masura’ bagatta, Syalom!

Sumber        Referensi

                      Alkitab                                                                             
Pin
Wil                Pengakuan Iman Babtis 1689:  Carey Publication, 1996
Ryle J.

[1] Arthur W. Pink. Penghiburan bagi Orang Percaya, (Surabaya: Momentum, 2005), 5.
[2] J.C. Ryle. Aspek-aspek Kekudusan, (Surabaya: Momentum, 2010), 21.
[3] G.I. Williamson, Pengakuan Iman Westminster: untuk Kelas Penelaahan, (Surabaya: Momentum, 2009), 222.
[4] G.J. Baan, TULIP: Lima Pokok Calvinisme (Surabaya: Momentum, 2017), 69.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERJALAN DALAM KORIDOR ALLAH

M I M P I